Anak Betawi Ini Kaya Raya Berkat Jual Makanan dari ‘Sampah’

Pengunjung mengunjungi kampung Betawi di kawasan wisata Ancol, Jakarta, Jumat (22/6). Menyambut peringatan hari ulang tahun Kota Jakarta ke-491 Pasar Senin Ancol mengangkat Kembali kebudayaan Betawi dengan membuat kampung Betawi. Ancol Kampung Betawi Festival merupakan slogan yang diusung Pasar Seni Ancol untuk memeriahkan hari jadi kota yang awalnya bernama Sunda Kelapa ini. Pasar Seni pun diubah menjadi sangat bernuansa Betawi. Acara ini berlangsung hingga Agustus bulan depan. Para wisatawan yang berkunjung bisa berfoto menggunakan pakaian Betawi tempo dulu dengan latar yang laik Instagram. Hiburan seperti pementasan lenong Betawi, gambang kromong, palang pintu Betawi, pawai ondel-ondel dan pencak silat hadir di Kampung Betawi tersebut. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Apa yang terlintas pertama kali saat mendengar kata sampah? Mayoritas pasti bakal menjawab bau dan jijik, sehingga banyak orang tak ingin berurusan dengannya.�

Namun, siapa sangka benda yang dijauhi banyak orang itu malah jadi berkah bagi anak muda asal Tanah Abang,Syafiie. Berawal dari keisengan, dia sukses mengubah sampah yang sama sekali tak diperhitungkan menjadi makanan lezat yangmengantarkannya jadi pengusaha kaya raya. 

Bagaimana ceritanya?

Sejak lahir di akhir abad ke-19, Syafiie tumbuh besar di kawasan pemotongan hewan sekitar Tanah Abang. Setiap hari dia selalu melihat kebiasaan berulang dari tangan penjagal. Usai memotong kambing atau sapi, penjagal selalu membuang tulang-belulang ke tempat sampah. Tak ada yang memungutnya.

Pada masa kolonial, kebiasaan ini memang lazim dilakukan. Biasanya, rumah jagal hanya mengambil dagingnya saja untuk dijual kembali ke pasar. Sebab, selalu ada pembelinya, entah itu orang Belanda atau pribumi. Sementara bagian tubuh lain pasti dibuang. 

Dari sini, Syafiie kemudian merasa gusar dan melihatnya mubazir. Alhasil, pada 1920-an, atau saat usianya menginjak 20 tahun, dia iseng mengambil kaki kambing di tempat sampah rumah jagal. Dia kemudian bergegas pergi ke dapur dan melakukan eksperimen. 

Awalnya dia memanaskan air di panci. Selagi menunggu panas, dia mempersiapkan pisau dan menghaluskan bumbu dapur. Saat air sudah siap, dia menyiramnya ke kaki kambing yang masih ditutupi bulu. 

Dengan tarikan panjang, pisau besar segera beraksi. Syafiie mengerik kaki kambing hingga semua bulu tercabut tanpa sisa. Tak sampai belasan menit, kaki kambing yang mulus sudah siap dimasak.

Syafiie kembali mengisi air di panci dan menaruhnya di atas api. Dia menggeprek rempah-rempah dan menumis bumbu halus. Semuanya dicampur ke dalam jerangan air. Tak lupa, kaki kambing yang jadi bintang dimasukkan.

Setelah hampir sejam, Syafiie melongo. Eksperimennya berhasil. Olahan kaki kambing yang lebih mirip sup itu sangat lezat. Hal senada juga diungkap orang-orang terdekatnya. Ini semua membuat kepercayaan diri Syafiie tumbuh untuk memulai hidup baru sebagai pengusaha.

Kaya Raya 

Kepada harian Minggu Merdeka (23 Oktober 1958), Syafiie yang sudah berusia 76 tahun bercerita proses penjualannya pada masa penjajahan. Dia melakukannya secara keliling sembari memikul dua gentong sup setiap hari di tempat berbeda.

“Saya selalu berpindah-pindah. Dari Palmerah, Senen, Sawah Besar, Tanjung Priuk, dan Jatinegara. Tapi, selalu laris ketika berjualan di lapangan sepakbola,” katanya. 

Pada masa kolonial, sudah banyak tukang sup atau soto keliling. Hanya saja, Sjafiie mengaku masih jarang yang menjual ‘sampah’ kaki kambing di Jakarta. Padahal, pasarnya cukup besar. Tak heran, dagangannya pun selalu ramai. Bahkan, dia juga menjual kepala kambing yang bagi sebagian orang sangat menjijikkan. 

“Tangan yang masak memang pandai, maka sup kaki kambing selalu istimewa dan laku,” ungkap Syafiie yang disebut Minggu Merdeka sebagai pelopor penjual sup kaki kambing di Jakarta.

Hanya saja, Syafiie tak lagi memungut kaki kambing dari tempat sampah, melainkan sudah membelinya karena penjagal tahu dia berdagang. Dari sini dia membeli kaki kambing tersebut seharga 1-2 sen. Dia mengaku harga segitu mahal, tapi tetap membeli agar orang tahu kalau dirinya berjualan kaki kambing.

Kesuksesan berdagang, membuat hidup Syafiie perlahan berubah. Dia menjadi terkenal dan tentu kaya raya. Proses ini dilakoni sampai Indonesia merdeka dan dirinya lansia. Tentu, di usia senja dia tak lagi berjualan keliling, tapi sudah punya toko di Tanah Abang. Berkat Syafiie, sup kaki kambing menjadi makanan populer di Jakarta. Banyak pedagang-pedagang lain yang menjual dagangan serupa.

toto slot online

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*