Bukan Eropa atau Arab, Bom Waktu PD 3 Ada di ‘Halaman Depan’ Rumah RI

The Vietnamese-claimed Southwest Cay island in the Spratly island group is seen from a Philippine Air Force C-130 transport plane during the visit to the Philippine-claimed Thitu Island by Defense Secretary Delfin Lorenzana, Armed Forces Chief Gen. Eduardo Ano and other officials in disputed South China Sea, western Philippines, Friday, April 21, 2017. The South China Sea issue is expected to be discussed in the 20th ASEAN Summit of Leaders next week. (Francis Malasig, Pool Photo via AP)

Perebutan wilayah antar negara kerap menjadi pemicu konflik, bahkan hingga skala global seperti perang dunia. Salah satu wilayah dengan potensi eskalasi konflik paling tinggi itu, salah satunya adalah Laut China Selatan (LCS) yang lokasinya berdekatan dengan Indonesia.

Profesor dari University of Tennessee, Krista Wiegand menyebut saling klaim penguasaan terhadap LCS berpotensi menjadi ‘bom waktu’ yang dapat memicu Perang Dunia ke-III (PD3). Tindakan China yang mengklaim wilayah itu, kata dia, membuatnya bersitegang dengan banyak negara Asean, seperti Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei, termasuk Indonesia di Natuna Utara.

Klaim ini pun menyeret Amerika Serikat (AS), yang merupakan rival dari Beijing. Wiegand mengatakan AS memiliki kepentingan tidak langsung karena LCS dinilai memiliki lokasi yang sangat strategis.

“Jika AS terlibat dalam perang apa pun dengan China, kemungkinan besar itu akan terjadi di Taiwan,” kata Wiegand kepada FreightWaves dalam sebuah wawancara yang juga dikutip Oilprice, dikutip Minggu (10/11/2024).

“Namun pada saat yang sama, ada kemungkinan kecelakaan atau semacam krisis terjadi di LCS. Misalnya, jika kapal AS bertabrakan dengan kapal angkatan laut China atau ada rudal yang ditembakkan ke kapal perusak atau fregat AS, itu pasti akan menyebabkan semacam krisis yang mungkin meningkat,” kata dia lagi.

“Tidak ada yang menginginkan perang, tentu saja, termasuk China, tetapi mereka jelas menginginkan LCS, dan ada kemungkinan perang itu mungkin terjadi,” ujar profesor yang juga direktur Pusat Keamanan Nasional dan Urusan Luar Negeri di Sekolah Kebijakan Publik dan Urusan Publik Howard J. Baker itu.

LCS membentang dari Singapura dan Selat Malaka di barat daya hingga Selat Taiwan di timur laut. Sekitar 24% dari perdagangan maritim global melewati LCS pada 2023.

Bila ditinjau per komoditas, lalu lintas barang yang melalui perairan itu pada tahun 2023 meliputi minyak mentah (45%), propana (42%), mobil (26%) dan barang curah kering (23%). Selain lalu lintas barang, pada tahun 2023, Survei Geologi AS melaporkan LCS mungkin mengandung hingga 9,2 miliar barel minyak bumi dan cairan lain yang belum dimanfaatkan dengan potensi 216 triliun kaki kubik gas alam.

Sengketa China di LCS mencakup wilayah yang termasuk dalam zona eksklusi ekonomi (ZEE) seperti dengan Filipina. ZEE adalah wilayah maritim tempat negara pantai memiliki hak untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, melestarikan, dan mengelola sumber daya alam.

Sebenarnya pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Tetap di Den Haag memutuskan mendukung Filipina dalam kasus yang dibuka pada tahun 2013 terhadap China. Pengadilan arbitrase mengatakan klaim China di LCS tidak memiliki dasar hukum.

“Ada beberapa klaim historis yang mungkin sah, tetapi pada saat yang sama, Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang ditandatangani dan diratifikasi China, bersama dengan sebagian besar negara lain di dunia, kecuali AS dan beberapa negara lainnya, sangat jelas tentang batas-batas maritim negara-negara,” tambah Wiegand.

“Klaim China atau fitur maritim tentang pulau-pulau di perairan negara-negara seperti Vietnam dan Filipina yang berada di bawah kendali mereka. Itu sama sekali tidak sah,” tegasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*