Di setiap negara, peringatan kemerdekaan selalu dirayakan secara meriah. Di Indonesia, hari kemerdekaan 17 Agustus dirayakan juga penuh suka cita.
Biasanya, masyarakat menyemarakkan kemerdekaan lewat berbagai macam lomba. Sebut saja, seperti panjat pinang, makan kerupuk, tarik tambang, balap karung, dan berbagai lomba kekinian lain.
Namun, sejak kapan kita semua melakukan lomba di peringatan 17 Agustus?
Dari tahun 1945-1950, masyarakat memang tak bisa merayakan kemerdekaan lewat berbagai lomba. Kondisi perang melawan Belanda yang ingin menjajah kembali membuat itu semua urung dilakukan. Kala itu, Indonesia masih eksis sebagai negara saja masih untung.
Barulah, saat situasi sudah kondusif di tahun 1950, masyarakat mulai melakukan banyak perlombaan dan kegiatan lain. Hal ini bisa dimaklumi sebagai bentuk suka cita sebab sudah benar-benar merdeka dari cengkraman penjajah. Tak heran, ketika 17 Agustus di seluruh wilayah Indonesia menyemarakkan kemerdekaan dengan suka cita.
Meski begitu, berbagai lomba yang dilaksanakan dalam perayaan 17 Agustus sudah berakar dari zaman kolonial. Sebut saja, seperti panjat pinang, makan kerupuk, dan balap karung.
Panjat pinang, misalnya, Fandy Hutari dalam Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal (2017) menyebut panjat pinang lazim dilakukan di masa kolonialisme sebagai bentuk hiburan orang-orang Belanda. Jadi, mereka yang kaya raya meminta para pribumi mati-matian memanjat pohon pinang. Pada saat bersamaan, mereka juga menertawakannya.
Pendapat ini juga dibenarkan oleh sejarawan Asep Kambali. Dalam media sosial pribadi, Asep mengatakan kalau permainan-permainan khas 17 Agustus sebenarnya berakar dari masa kolonial.
“Balap karung simbol tanam paksa, karena pakai karung goni. Panjat pinang simbol penjajahan dan balap makan kerupuk simbol kemelaratan,” ungkapnya, dikutip Sabtu (17/8/2024).
Lebih lanjut, Asep juga menyayangkan aktivitas lomba demikian masih dilakukan di masa sekarang dengan nafas perjuangan. Maksudnya, generasi-generasi kekinian merasakan perjuangan mendapat sesuatu, seperti para pahlawan mengejar kemerdekaan. Padahal itu sama saja melestarikan kebiasaan penjajah.
“Jadi, pembodohan masal yang dilakukan sejak zaman kolonial, kita lestarikan sampai hari ini,” tegasnya.