
Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia mengalami pergeseran signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa provinsi kini menghadapi ancaman krisis penduduk akibat rendahnya angka kelahiran. Salah satu yang patut dicermati adalah Jakarta, yang mencatat angka fertilitas terendah di Indonesia.
Jakarta, Menuju Kota Sepi Kelahiran?
Jika melihat Total Fertility Rate (TFR), Jakarta mencatat angka 1,75, terendah dibandingkan provinsi lain. Angka ini menunjukkan bahwa rata-rata seorang perempuan di Jakarta hanya melahirkan kurang dari dua anak sepanjang masa reproduksinya. Angka ini jauh dari batas ideal 2,1 yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan populasi tanpa migrasi.
Angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) dihitung dengan membagi jumlah kelahiran perempuan usia 15-49 tahun dengan jumlah perempuan usia 15-49 tahun pada periode yang sama.
Jumlah angka TFR di Jakarta menurun drastis dibandingkan dengan Sensus Penduduk (SP) pada periode-periode sebelumnya.
Tak hanya itu, angka Crude Birth Rate (CBR) atau angka kelahiran kasar di Jakarta juga tergolong rendah, yakni 13,94 kelahiran per 1.000 penduduk. Ini semakin mengonfirmasi bahwa ibu kota mengalami tren penurunan kelahiran yang bisa berdampak pada struktur demografi dalam beberapa dekade ke depan.
Tren ini juga tercermin dalam Age-Specific Fertility Rate (ASFR), yang menunjukkan distribusi kelahiran berdasarkan kelompok umur perempuan. Data menunjukkan bahwa Jakarta memiliki angka kelahiran remaja yang sangat rendah, hanya 7,9 kelahiran per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun, jauh lebih kecil dibandingkan provinsi lain seperti Kalimantan Tengah dan Papua yang mencapai 63,13 dan 59 per 1.000 perempuan.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi rendahnya tingkat kelahiran di Jakarta antara lain seperti urbanisasi dan biaya hidup.
Hidup di kota besar seperti Jakarta berarti menghadapi biaya hidup tinggi. Banyak pasangan muda menunda memiliki anak atau memilih untuk memiliki lebih sedikit anak demi alasan finansial.
Tingkat pendidikan perempuan di Jakarta lebih tinggi dibandingkan banyak wilayah lain di Indonesia. Hal ini juga berkontribusi pada penundaan usia pernikahan dan keputusan untuk memiliki anak lebih sedikit.
Selain itu Jakarta memiliki akses lebih luas terhadap program keluarga berencana dan alat kontrasepsi, yang memungkinkan pasangan untuk lebih mengontrol jumlah kelahiran.
Jika tren ini terus berlanjut, Jakarta bisa menghadapi masalah penuaan populasi dalam beberapa dekade mendatang. Dengan semakin sedikitnya kelahiran, proporsi penduduk lansia akan meningkat, yang bisa membebani sistem pensiun, layanan kesehatan, dan produktivitas tenaga kerja.
Namun, di sisi lain, penurunan angka kelahiran bisa menjadi peluang untuk menciptakan kota yang lebih berkelanjutan.
Dengan jumlah penduduk yang tidak terus membengkak, Jakarta bisa lebih fokus pada peningkatan kualitas hidup, pembangunan infrastruktur yang lebih efisien, serta keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Jakarta sedang menuju era di mana populasi bisa mulai menyusut jika tidak ada migrasi masuk yang cukup signifikan. Apakah ini ancaman atau peluang? Itu semua tergantung pada bagaimana pemerintah dan masyarakat menyikapinya.